Pengertian dan Pemafaatan Hutan Mangrove


 1.  Pembahasan Pengertian Mangrove ...

Tumbuhan . Hutan mangrove merupakan suatu tipe hutan yang tumbuh di daerah pasang surut, terutama di pantai yang terlindung, laguna dan muara sungai yang tergenang pada saat pasang dan bebas dari genangan pada saat surut yang komunitas tumbuhannya bertoleransi terhadap garam. Menurut FAO, Hutan Mangrove adalah Komunitas tumbuhan yang tumbuh di daerah pasang surut.
(PDF)Micro Boilogi Robert

PEMANFAATAN HUTAN MANGROVE 

Manfaat dan fungsi hutan mangrove sangat dirasakan oleh masyarakat yang bermukim di sekitar pantai. Manfaat langsung maupun tidak langsung dari mangrove baik berupa manfaat ekologi, ekonomi maupun sosial memberikat konstribusi yang nyata bagi masyarakat. Banyak penelitian telah membuktikan hal ini sehingga kelestarian hutan mangrove perlu tetap dijaga.


Kata mangrove merupakan kombinasi antara bahasa Portugis ”Mangue” dan bahasa Inggris ”grove” (Macnae, 1968 dalam Kusuma et al, 2003). Dalam bahasa inggris kata mangrove digunakan baik untuk komunitas tumbuhan yang tumbuh di daerah jangkauan pasang surut maupun untuk individu-individu jenis tumbuhan yang menyusun komunitas tersebut.

Hutan mangrove dikenal juga dengan istilah tidal forest, coastal woodland, vloedbosschen dan hutan payau (bahasa Indonesia). Selain itu, hutan mangrove oleh masyarakat Indonesia dan negara Asia Tenggara lainnya yang berbahasa Melayu sering disebut dengan hutan bakau. Penggunaan istilah hutan bakau untuk hutan mangrove sebenarnya kurang tepat dan rancu, karena bakau hanyalah nama lokal dari marga Rhizophora, sementara hutan mangrove disusun dan ditumbuhi oleh banyak marga dan jenis tumbuhan lainnya. Oleh karena itu, penyebutan hutan mangrove dengan hutan bakau sebaiknya dihindari (Kusuma et al, 2003).

Mangrove tersebar di seluruh lautan tropik dan subtropik, tumbuh hanya pada pantai yang terlindung dari gerakan gelombang; bila keadaan pantai sebaliknya, benih tidak mampu tumbuh dengan sempurna dan menjatuhkan akarnya. Pantai-pantai ini tepat di sepanjang sisi pulau-pulau yang terlindung dari angin, atau serangkaian pulau atau pada pulau massa daratan di belakang terumbu karang di lepas pantai yang terlindung (Nybakken, 1998).

Tumbuhan mangrove bersifat unik karena merupakan gabungan dari ciri-ciri tumbuhan yang hidup di darat dan di laut. Umumnya mangrove mempunyai sistem perakaran yang menonjol yang disebut akar nafas (pneumatofor). Sistem perakaran ini merupakan suatu cara adaptasi terhadap keadaan tanah yang miskin oksigen atau bahkan anaerob. Mangrove tersebar di seluruh lautan tropik dan subtropik, tumbuh hanya pada pantai yang terlindung dari gerakan gelombang; bila keadaan pantai sebaliknya, benih tidak mampu tumbuh dengan sempurna dan menancapkan akarnya. Beberapa manfaat hutan mangrove dapat dikelompokan sebagai berikut:
A. Manfaat / Fungsi Fisik :
1. Menjaga agar garis pantai tetap stabil
2. Melindungi pantai dan sungai dari bahaya erosi dan abrasi.
3. Menahan badai/angin kencang dari laut
4. Menahan hasil proses penimbunan lumpur, sehingga memungkinkan terbentuknya lahan baru.
5. Menjadi wilayah penyangga, serta berfungsi menyaring air laut menjadi air daratan yang tawar
6. Mengolah limbah beracun, penghasil O2 dan penyerap CO2.

B. Manfaat / Fungsi Biologis :
1. Menghasilkan bahan pelapukan yang menjadi sumber makanan penting bagi plankton, sehingga penting pula bagi keberlanjutan rantai makanan.
2. Tempat memijah dan berkembang biaknya ikan-ikan, kerang, kepiting dan udang.
3. Tempat berlindung, bersarang dan berkembang biak dari burung dan satwa lain.
4. Sumber plasma nutfah & sumber genetik.
5. Merupakan habitat alami bagi berbagai jenis biota.

C. Manfaat / Fungsi Ekonomis :
1. Penghasil kayu : bakar, arang, bahan bangunan.
2. Penghasil bahan baku industri : pulp, tanin, kertas, tekstil, makanan, obat-obatan, kosmetik, dll
3. Penghasil bibit ikan, nener, kerang, kepiting, bandeng melalui pola tambak silvofishery
4. Tempat wisata, penelitian & pendidikan.

Beberapa desa yang terdapat pada Teluk Kotania adalah : Pulau Osi, Pelita Jaya, Kotania, Wael, TamanJaya, Pohon Batu dan Masika Jaya. Sebagian besar masyarakat suku Buton tinggal di sepanjang wilayah pesisir Teluk Kotania dengan jenis mata-pencaharian yaitu berkebun. Pada saat ini telah terjadi pergeseran atau perubahan jenis mata-pencaharian dari berkebun ke nelayan atau kombinasi keduanya. Dari delapan dusun yang ada di wilayah pesisir Teluk Kotania, hanya dusun Pelitajaya (53 %) dan Pulau Osi (90 %) yang benar-benar menggantungkan kehidupan mereka pada laut, yaitu sebagai nelayan penangkap ikan hiu (sirip ikan hiu).

Daerah Mangrove Pelita Jaya
Kondisi ekonomi masyarakat pesisir di Teluk Kotania yang memiliki jenis mata-pencaharian sebagai nelayan berpenghasilan relatif baik, yaitu sekitar Rp 74,5 juta/tahun, sedangkan yang memiliki jenis mata-pencaharian berkebun hanya sekitar Rp 20,2 juta/tahun.

Membaiknya harga pasar dari produk laut dan mempunyai prospek yang lebih bagus, menyebabkan masyarakat setempat beralih pekerjaannya sebagai nelayan. Sebagai contoh nelayan penangkap kepiting bakau yang hasil tangkapannya berpeluang untuk diekspor. Oleh sebab itu, dengan banyaknya masyarakat yang beralih mata-pencaharian menjadi nelayan, maka dalam pemanfaatan sumberdaya perlu berhati-hati, khususnya sumberdaya kepiting bakau, teripang, bulu babi, berbagai jenis kerang-kerangan yang terlihat ada kecenderungan menurun ukuran dan populasinya.

Sumberdaya mangrove memberikan beragam produk dan jasa, baik yang dapat langsung dipasarkan maupun yang tidak, baik dari lingkungan di sekitar mangrove maupun yang terjadi di luar dan jauh dari mangrove. Meskipun demikian masih terasa sulit untuk mengetahui nilai ekonomi total dari ekosistim mangrove.


Ketidaktahuan akan nilai ekonomi ekosistim hutan mangrove disebabkan oleh 2 faktor utama, yaitu :
(1). kebanyakan dari barang dan jasa yang dihasilkan oleh ekosistim mangrove wujudnya tidak diperdagangkan di pasar, sehingga tidak memiliki nilai yang dapat diamati, dan
(2). Beberapa dari barang dan jasa tersebut terjadi di luar dan jauh dari ekosistim mangrove sehingga penghargaan terhadap barang dan jasa itu sering dianggap tidak ada kaitannya dengan mangrove (misal kesuburan perairan hasil dari kontribusi mangrove, yang menyebabkan banyaknya ikan, udang, kepiting, moluska di suatu wilayah perikanan pantai yang jauh dari hutan mangrove.

Kondisi sosial masyarakat setempat yang sebagian besar (65 %) bermata-pencaharian berkebun, ternyata dapat mencegah aktifitas dalam penebangan kayu mangrove atau pengrusakan hutan.

Usaha konversi hutan mangrove menjadi lahan tambak harus melihat hasil analisis manfaat dan biaya apakah hasilnya mampu menghasilkan nilai manfaat bersih sekarang (Net Present Value) jauh lebih besar dibandingkan kondisi hutan mangrove sekarang. Adapun kebijakan ini merupakan salah satu contoh masukan bagi pengambil kebijakan yang seyogyanya sangat patut mendapatkan perhatian.

Menurut hasil kajian Supriyadi dan Wouthuyzen (2005) tentang Penilaian ekonomi (economic valuation) hutan mangrove di Teluk Kotania, Seram barat, Provinsi Maluku, adalah sebagai berikut :

1). Mangrove tidak diragukan dapat memberikan produk dan jasa bagi masyarakat yang tinggal di sekitarnya, tetapi masih banyak fungsi dari mangrove yang tidak diketahui, sehingga dalam pemanfaatannya hanya yang mempunyai nilai pasar langsung saja yang dihitung. Hal ini menyebabkan pengabaian yang dapat merugikan dalam rencana pengembangan hutan mangrove

2). Hasil penilaian ekonomi total dari hutan mangrove di Teluk Kotania pada tahun 1999 adalah Rp. 64,8 milyar atau Rp. 60,9 Juta/ha. Nilai ini masih terlalu rendah, karena masih banyak komponen lain pada hutan mangrove yang sulit untuk ditentukan baik fungsi dan harga pasarnya.

3) Agar diperoleh hasil yang lebih representatif, khususnya untuk kasus Teluk Kotania yang memiliki keunikan ekosistim, maka valuasi nilai ekonomi perlu dilakukan untuk seluruh ekosisitim yang ada di sekitar teluk tersebut.

4) Hasil contoh pemanfaatan mangrove dari lokasi lain menunjukkan bahwa membiarkan keberadaan mangrove sebagaimana adanya memiliki nilai ekonomi yang jauh lebih tinggi, dibandingkan jika mangrove dikonversi, sehingga sebaiknya hutan mangrove di Teluk Kotania tidak dikonversi, dan perlu dimanfaatkan secara hati-hati.

Penebangan mangrove di sekitar Teluk Kotania masih dapat dilihat, namun penebangan dilakukan terbatas pada mangrove yang sudah sangat tua. Batang pohon yang ditebang adalah dari jenis Rhizophora sp, Bruguiera gimnorrhiza dan Ceriops tagal, yang berdiameter rata-rata 25 - 50 cm.


Tempat menjemur rumput laut yang terbuat
dari kayu Ceriops tagal di Pulau Osi.













Kayu tersebut terutama digunakan sebagai kayu bakar, baik untuk keperluan dapur sehari-hari maupun untuk pengasapan ikan. Pemanfaatan kayu jenis Ceriops tagal juga sebagai tiang-tiang bahan bangunan dan tempat menjemur rumput laut. Sebetulnya kepada masyarakat sudah diberitahukan bahwa mangrove itu termasuk tumbuhan yang dilindungi dan tidak boleh ditebang.
PUSTAKA :

SUPRIYADI & WOUTHUYZEN, 2005. Penilaian Ekonomi Sumberdaya Mangrove di Teluk Kotania, Seram Barat, Provinsi Maluku. Oseanologi dan Limnologi di Indonesia. No. 38 : 1 – 21. ISSN 0125-9830.

ANONIMOUS, 1995, Penentuan Calon Kawasan Konservasi Laut di Pulau Marsegu dan sekitarnya. Provinsi Maluku. Dirjen Pembangunan Daerah Depdagri Bekerjasama dengan Direktorat Bina Kawasan Suaka Alam dan Konservasi Flora Fauna, Dephut. Jakarta.