PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kebanyakan zat yang oleh sel-sel hidup dapat dimetabolisasi dengan cepat, di luar tubuh ternyata sangat lamban. Sebagai contoh, larutan glukosa dalam botol akan tetap baik selama waktu yang tak terhingga asalkan bebas dari bakteri atau jamur. Larutan itu harus dalam suhu yang tinggi asam atau basa yang kuat agar terurai. Tapi glukosa di dalam sitoplasma terurai dengan cepat pada suhu dan tekanan yang normal dan di dalam larutan yang tidak asam atau pun basa. Reaksi dalam sel dilakukan oleh zat-zat khusus, disebut enzim, yang termasuk golongan zat-zat disebut katalis. Suatu katalis adalah zat yang mempengaruhi kecepatan reaksi tanpa mengubah hasil akhir dan pada waktu reaksi itu berlangsung tidak bebas terpakai. Jumlah zat-zat yang dapat dipakai sebagai katalis dalam satu reaksi atau lebih adalah sangat banyak. Logam-logam seperti besi, nikel, platina, dan paladium, jika dijadikan bubuk banyak dipakai sebagai katalis dalam proses industri, seperti hidrogenasi minyak biji kapas atau minyak tumbuhan dalam pembuatan margarin atau penguraian minyak untuk membuat bensin. Sejumlah kecil katalis akan mempercepat reaksi sejumlah besar zat karena molekul katalis tidak akan habis dipakai dan dapat digunakan berkali-kali (Ville, 1988, Hlm: 70).
Hewan memerlukan senyawa organik seperti karbohidrat, lipid, dan protein sebagai sumber energi untuk menyelenggarakan berbagai aktifitasnya. Namun, kemampuannya untuk mensintesis senyawa organik sangat terbatas. Oleh karena itu, hewan berusaha memenuhi semua kebutuhannya dari tumbuhan dan hewan lain. Organisme yang demikian dinamakan organisme heterotrof. Ada juga hewan yang dapat menyintesis sendiri berbagai senyawa organik esensial, contohnya Euglena. Meskipun demikian, Euglena juga memerlukan vitamin (faktor pertumbuhan) yang tidak dapat disintesis sendiri (Isnaeni, 2006, Hlm: 144).
1.2 Tujuan Percobaan
Adapun tujuan dari praktikum Enzim dan Sistem Pencernaan adalah:
a. Untuk mengetahui pengaruh empedu terhadap lemak
b. Untuk mengetahui pengaruh suhu terhadap kerja enzim amilase
c. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi aktivitas enzim
d. Untuk mengetahui fungsi empedu pada saluran pencerna
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian dan Sifat-Sifat Enzim
Enzim adalah protein katalitik. Suatu katalis adalah suatu agen kimia yang mengubah laju reaksi tanpa harus dipergunakan oleh reaksi itu. Dengan tidak adanya enzim, lalu lintas kimiawi melalui jalur-jalur metabolisme akan menjadi sangat macet. Setiap reaksi kimia melibatkan pemutusan ikatan dan pembentukan ikatan baru dengan suatu atom hidrogen dan suatu gugus hidroksil dari air. Setiap saat suatu reaksi mengatur ulang atom-atom molekul itu, ikatan-ikatan yang sudah ada dalam reaktan harus diputuskan dan ikatan baru pada produk akan dibentuk. Molekul reaktan harus menyerap energi dari sekelilingnya untuk dapat memutuskan ikatannya, dan energi akan dibebaskan ketika ikatan baru pada molekul produk terbentuk (Campbell, 2002, Hlm: 98).
Enzim adalah katalis protein yang dihasilkan oleh sel. Zat-zat ini mengatur kecepatan dan kekhususan ribuan reaksi kimia yang berlangsung dalam sel. Meskipun enzim itu dibuat di dalam sel, tetapi untuk bertindak sebagai katalis tidak harus berada di dalam sel. Sejumlah unsur tidak dapat diekstrak dari sel tanpa merusak aktivitasnya, yang kemudian dimurnikan dan dijadikan hablur sehingga kemampuan katalisisnya dapat dipelajari. Reaksi yang dikontrol oleh enzim adalah dasar fenomena kehidupan: respirasi, pertumbuhan, kontraksi otot, konduksi saraf, fotosintesis, fiksasi nitrogen, deaminasi, pencernaan dan sebagainya (Ville, 1988, Hlm: 71).
Reaktan di mana enzim akan bekerja disebut sebagai substrat enzim. Enzim berikatan dengan substratnya (atau beberapa substratnya ketika terdapat dua atau lebih reaktan). Pada saat enzim dan substrat berikatan, kerja katalitik enzim tersebut akan mengubah substrat menjadi produk (beberapa produk) reaksi. Setiap enzim dapat membebaskan substratnya dari senyawa yang sangat dekat sekalipun hubungannya, seperti isomer, sedemikian rupa sehingga setiap jenis enzim mengkatalisis suatu reaksi tertentu. Misalnya, sukrase hanya akan bekerja pada sukrosa dan akan menolak disakarida lain, seperti maltosa (Campbell, 2002, Hlm: 99).
Enzim biasanya diberi nama dengan akhiran –ase di belakang nama zat yang menggunakanyya, sebagai contoh sukrose diuraikan oleh enzim sukrase menjadi glukose dan fruktose. Kebanyakan enzim dapat larut dalam air atau larutan asam yang encer, tetapi beberapa seperti yang terdapat dalam mitokondria, digabungkan oleh lipoprotein (suatu kompleks fosfolipid dari protein) dan tidak larut dalam air. Kemampuan katalis beberapa enzim sangat menakjubkan. Sebagai contoh, satu molekul dari enzim katalase yang mengandung besi yang diekstrak dari hati sapi akan mampu menguraikan 5.000.000 molekul hidrogen pereoksida per menit pada 0°C. Zat yang diuraikan oleh enzim disebut substrat; jadi hidrogen peroksida adalah substrat dari enzim katalase (Ville, 1988, Hlm: 70).
Pemecahan makanan secara mekanis, yang terutama berlangsung dalam mulut dan lambung (atau tembolok) disertai atau diikuti oleh pemecahan kimiawi nutrien-nutrien oleh katalis-katalis yang disebut enzim-enzim pencernaan. Enzim-enzim yang bekerja dalam pengolahan pati secara tradisional disebut amilase, walaupun istilah yang lebih luas bagi enzim-enzim yang bekerja dalam pengolahan polisakarida, oligosakarida, trisakarida, dan lain-lain diesbut karbohidrase. Enzim-enzim yang bekerja dalam pengolahan protein disebut protease. Hidrolisis protein dikenal sebagai proteolisis. Hidrolisis lemak-lemak netral (suatu tipe utama lipid yang diambil ke dalam saluran pencernaan) disebut lipolisis. Pencernaan tidak berlangsung sekaligus. (Fried, 2005, Hlm: 186).
Aktivitas pencernaan memerluksan jumlah enzim yang cukup, di samping banyak lendir yang diperlukan untuk melindungi epitel terdapat kerusakan mekanik maupun iritasi enzim. Enzim tersebut dihasilkan oleh sel-sel khusus dalam mukosa maupun submukosa, seperti halnya kelenjar yang terletak di luar usus, tetapi memiliki saluran penghubung, misalnya pankreas dan hati. Lendir (mukosa) dihasilkan oleh kelenjar submukosa usus halus dan oleh sel-sel mangkok yang terserak diantara sel-sel yang melaksanakan penyerapan di sepanjang usus halus (Dellmann, 1992, Hlm: 318).
Kelompok-kelompok enzim-enzim pencernaan utama berasal dari pankreas dan usus halus. Pencernaan mekanis dan penyimpanan makanan terjadi di mulut dan lambung, namun pencernaan secara kimiawi hanya terjadi sedikit pada organ-organ tersebut. Pencernaan protein hampir sepenuhnya tergantung pada enzim-enzim proteolitik yang dihasilkan di pankreas dan dikirim ke duodenum melalui saluran pankreas. Ingatlah bahwa tripsin dan kimotripsin dibentuk sebagai zimogen-zimogen tak aktif (tripsinogen dan kimotripsinogen), yang diaktifkan melalui pemotongan sedikit bagian peptid tersebut (Fried, 2005, Hlm: 186).
2.2 Sistem Pencernaan
Sistem pencernaan (tarctus digestivus) terdiri atas suatu saluran muskulo membranosa
yang terentang dari mulut sampai ke anus. Fungsinya adalah memasukkan makanan, menggiling, mencerna, dan menyerap makanan, serta mengeluarkan buangannya yang berwujud padat. Sistem pencernaan mengubah zat-zat hara yang terdapat dalam makanan menjadi senyawa yang lebih sederhana hingga dapat diserap dan digunakan sebagai energi, senyawa-senyawa lain untuk kepentingan metabolisme (Frandson, 1992, Hlm: 527).
Sistem pencernaan yang memiliki serangkaian organ berbentuk buluh dengan kelenjarnya melaksanakan fungsi utama memecah makanan yang masuk menjadi unit-unit kecil, agar dapat diserap ke dalam jaringan untuk memepertahankan kehidupan organisme. Adaptasi morfologi untuk tugas-tugas khusus ini adalah khas bagi sistem pencernaan pada banyak jenis hewan peliaraan. Beberapa variasi dalam bentuk gigi, lambung dan usus besar, adalah akibat dari variasi makanan yang dikonsumsi (Dellmann, 1992, Hlm: 320).
Invertebrata tingkat rendah tidak mempunyai organ pencernaan khusus. Pencernaan makanan terjadi secara intraseluler, yakni di dalam sel khusus. Porifera (hewan berpori) tidak mempunyai rongga pencernaan, tetapi mempunyai sel khusus yang disebut khoanosit. Alat pencernaan pada Koelentrata berupa gastrovaskuler disebut gastrodermis. Sel ini mampu menyekresikan enzim ke ruang gastrovaskuler. Oleh karena itu, pemecahan bahan makanan secara kasar dapat berlangsung dalam saluran tersebut. Namun, pencernaan makanan secara lengkap tetap berlangsung secara intraseluler (Isnaeni, 2006, Hlm: 147).
2.3 Organ-Organ Pencernaan
Tempat hubungan antara integumen dan sistem pencernaan terdapat pada bibir. Bagian luar bibir dibalut oleh kulit dan bagian dalam oleh selaput lendir. Di daerah pertemuan antara kulit dan selaput lender, kulit bebas dari folikel rambut, dan epidermis lebih tebal membentuk interdigitasi dan membentuk papil-papil mikroskopik. Bagian dalam bibir dibalut oleh epitel pipih banyak lapis yang dapat bertanduk pada ruminansia dan kuda, tetapi tidak bertanduk pada karnivora dan babi. Lamina propria dan submukosa bersatu tanpa adanya batas yang jelas. Gugus kelenjar bibir, lazimnya bersifat serous atau seromukous, tersebar pada lamina propria-submukosa. Tunika muskularis terdiri dari otot kerangka (Dellmann, 1992, Hlm: 347).
Daerah untuk menerima makanan adalah mulut. Mulut biasanya dilengkapi dengan gigi dan kelenjar ludah, yang membantu proses mengunyah dan menelan makanan. Dalam ludah terkandung berbagai substansi seperti amilase (enzim pencerna karbohidrat pada beberapa mamalia), toksin (pada ular berbisa), dan antikoagulan (pada insekta penghisap darah). Esofagus juga dikelompokkan sebagai daerah penerimaan makanan. Organ ini bertugas membawa makanan dari mulut ke lambung dengan gerakan peristaltik (Isnaeni, 2006, Hlm: 149).
Faring menghubungkan rongga mulut dengan esofagus dan memiliki lubang yang menuju rongga hidung (nasofarings), larings, tuba auditivia Eustachius. Selaput lendir farings, tunika muskularis yang terdiri dari otot kerangka, dan adventisia membentuk dinding. Selaput lendir farings memiliki epitel pipih banyak lapis dengan lamina propria yang terdiri dari jaringan fibroelastik bercampur dengan jaringan limfatik dan kelenjar mucous. Farings tidak memiliki muskularis mukosa (Dellman, 1992, Hlm: 375).
Esofagus, suatu kelanjutan langsung dari farings, merupakan suatu saluran muscular yang merentang dari farings menuju ke kardia dari perut, persis pada posisi kaudal dari diafragma. Dari farings esofagus melintas dorsal menuju ke trachea dan umumnya miring ke arah kiri dari pada leher. Sekali lagi melintas dorsal menuju ke trachea di mana kemudian masuk ke dada dan berlanjut ke arah kaudal di antara trachea dan aorta pada diafragma. Esofagus kemudian melintas melalui hiatus esofagus dari diafragma dan bergabung dengan perut di dalam rongga abdominal pada kardia (Frandson, 1992, Hlm: 555).
Proses pencernaan secara lebih sempurna dan penyerapan sari makanan berlangsung di dalam usus. Di usus, bahan makanan (karbohidrat, lipid, dan protein) dicerna lebih lanjut dengan bantuan enzim dan diubah menjadi berbagai komponen penyusunnya agar dapat diserap dan digunakan secara optimal oleh hewan. Secara garis besar, enzim pencernaan pada hewan dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu enzim pemecah karbohidrat, pemecah lemak, dan pemecah protein (Isnaeni, 2006, Hlm: 151).
Usus halus meliputi duodenum, yeyenum, dan ileum. Pencernaan dalam usus, atau pemecahan ingesta menjadi bentuk yang siap untuk diserap, dimulai dengan bekerjanya enzim pankreas, empedu dari hati dan sekret kelenjat usus. Peristiwa ini berlangsung sepanjang usus halus. Peristiwa pencernaan serta penyerapan dalam usus halus ditunjang oleh bentuk-bentuk khusus. Efisiensi penyeraapan dapat ditingkatkan oleh tiga bentuk khusus yang memperluas areal penyerapan terhadap isi usus, dua pertiga bagian depan usus halus memiliki plika sirkularis yang menjulur ke arah lumen setinggi dua pertiganya Bagian pertama dari kolon meninggalkan sekum dan menuju arah kranial sepanjang dinding abdominal ventral bagian kanan menuju ke bagian sternal dari diafragma. Di sini membelok tajam menuju ke sebelah kiri dan bergerak kaudal sepanjang dinding abdominal ventral sebelah kiri menuju ke pelvic enlet. Bagian-bagian yang pertama dari kolon besar tersebut dikenal dengan nama kolon ventral kanan, fleksura sternal, dan kolon (Dellman, 1992, Hlm: 347).
BAB 3
BAHAN DAN METODA
3.1 Waktu dan Tempat
Praktikum Enzim dan Sistem Pencernaan dilakukan pada hari Jumat tanggal 05 Maret 2010 pada pukul 14.00 WIB sampai dengan selesai di Laboratorium Fisiologi Hewan, Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Sumatera Utara, Medan.
3.2 Alat dan Bahan
Adapun alat yang digunakan pada percobaan ini tabung reaksi, rak tabung reaksi, beaker glass 250 ml dan 500 ml, gelas ukur, aqua cup, stopwatch, pipet tetes, kertas label, hot-plate, dan termometer.
Sedangkan bahan yang digunakan pada percobaan ini adalah empedu, kelenjar saliva, air, minyak kelapa, blue band, minyak bimoli, VCO, reagen Iodin, reagen Benedict, air panas, dan air es (es batu).
3.3 Prosedur Percobaan
3.3.1 Pengaruh Empedu Terhadap Lemak
Disediakan 5 buah tabung reaksi. Kemudian dimasukkan secukupnya cairan empedu ke dalam masing-masing tabung. Pada tabung ke-1 ditambahkan dengan 2 ml air, pada tabung ke-2 ditambahkan 2 ml VCO, pada tabung ke-3 ditambahkan 2 ml minyak kelapa, pada tabung ke-4 ditambahkan 2 ml blue band, dan pada tabung ke-5 ditambahkan 2 ml bimoli. Kemudian didiamkan selama ±10 menit. Lalu diamati perubahan warna yang terjadi.
3.3.2 Pengaruh Suhu Terhadap Kerja Enzim Amilase
Dipanaskan air terlebih dahulu ke dalam 3 beaker glass masing-masing 10ºC, 30ºC, dan 50ºC. Lalu disediakan 10 buah tabung reaksi. Dimasukkan 1 ml amilum ke dalam masing-masing tabung reaksi. Kemudian ditambahkan 0,5 ml saliva ke dalam masing-masing tabung teaksi. Diteteskan 2-3 tetes reagen Benedict ke dalam 5 tabung reaksi pertama. Diteteskan 2-3 tetes reagen Iodin ke dalam 5 tabung reaksi kedua. Kemudian dimasukkan ke dalam beaker glass sesuai dengan suhu. Diamati perubahan yang terjadi selang waktu 2, 4, 6, 8, dan 10 menit. Lalu dicatat hasilnya.
BAB 4
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Data Percobaan
Tabel 4.1.1 Pengaruh Empedu Terhadap Lemak
No | Perlakuan | Pengamatan (Gambar) | Keterangan |
1. | Empedu + Air | Air dan empedu (homogen). | |
2. | Empedu + VCO | Terdapat dua lapisan, empedu mengendap. | |
3. | Empedu + Minyak Kelapa | Terdapat dua lapisan, empedu mengendap, terdapat butir- butir kecil pada lapisan minyak kelapa. | |
4. | Empedu + Blue Band | Terdapat dua lapisan, pada lapisan kedua (lapisan blue band) memiliki butir-butir atau gelembung cairan. | |
5. | Empedu + Bimoli | Terdapat tiga lapisan, pada lapisan kedua terbentuk butir-butir udara. |
Dari data di atas, dapat diketahui bahwa pada perlakuan empedu yang dicampur dengan air menghasilkan larutan air dan empedu (homogen). Pada perlakuan empedu yang dicampur dengan VCO menghasilkan larutan yang terdiri dari dua lapisan, empedu mengendap. Pada perlakuan empedu yang dicampur dengan minyak kelapa menghasilkan larutan yang terdiri dari dua lapisan, empedu mengendap, terdapat butir- butir kecil pada lapisan minyak kelapa. Pada perlakuan empedu yang dicampur dengan Blue band menghasilkan larutan yang terdiri dari dua lapisan, pada lapisan kedua (lapisan Blue band) memiliki butir-butir atau gelembung cairan. Pada perlakuan empedu yang dicampur dengan Bimoli menghasilkan larutan yang terdiri dari tiga lapisan, pada lapisan kedua terbentuk butir-butir udara. Hal ini mungkin disebabkan oleh semakin tinggi konsentrasi lemak di dalam suatu sampel maka semakin banyak butir-butir halus yang merupakan hasil dari emulsifikasi lemak oleh empedu.
Menurut Isnaeni (2006), bahwa garam empedu berperan penting dalam mengemulsi lemak sehingga mempermudah terjadinya kontak antara molekul lemak dengan mikrofili, yakni dengan membentuk kompleks garam empedu-lemak. Setelah terjadi kontak dengan mikrofili, kompleks tersebut akan terpisah lagi dari garam empedu kembali ke lumen usus sehingga dapat digunakan kembali untuk membawa molekul lipid lainnya. Garam empedu akan mengubah hasil pencernaan lipid menjadi butiran kecil yang lebih hidrofit. Butiran kecil tersebut akan menembus membrane sel epitel mukosa usus pada jejunum. Pada bagian ini, molekul asam lemak dan gliserol akan terpisah dan berdifusi melalui membrane plasma (masuk ke dalam sel) dengan cara pinositosis.
Menurut Mambo (2009), bahwa kandung empedu merupakan kantong otot kecil yang berfungsi untuk menyimpan empedu, yaitu cairan pencernaan berwarna kuning kehijauan yang dihasilkan oleh hati. Jika kita makan, kandung empedu akan berkontraksi dan mengosongkan empedu ke dalam usus untuk membantu pencernaan lemak dan vitamin-vitamin tertentu. Empedu itu sendiri terdiri dari: Garam-garam empedu, Elektrolit, Pigmen empedu (misalnya bilirubin), Kolesterol, Lemak Fungsi empedu adalah untuk membuang limbah tubuh tertentu (terutama pigmen hasil pemecahan sel darah merah dan kelebihan kolesterol) serta membantu pencernaan dan penyerapan lemak. Garam empedu dapat meningkatkan kelarutan kolesterol, lemak, dan vitamin yang larut dalam lemak, sehingga membantu penyerapannya dari usus. Hemoglobin yang berasal dari penghancuran sel darah merah akan diubah menjadi bilirubin (pigmen utama dalam empedu) dan dibuang ke dalam empedu. Berbagai protein yang memegang peranan penting dalam fungsi empedu juga disekresi dalam empedu.
Tabel 4.1.1 Pengaruh Suhu Terhadap Kerja Enzim Amilase
No | Perlakuan | Suhu | Waktu (menit) | Benedict | Iodine |
1. | 1 ml Amilum + 0,5 ml Saliva | 10ºC | 2’ 4’ 6’ 8’ 10’ | * * * ** | - - - * |
2. | 1 ml Amilum + 0,5 ml Saliva | 30ºC | 2’ 4’ 6’ 8’ 10’ | ** ** ** *** *** | * * * ** ** |
3. | 1 ml Amilum + 0,5 ml Saliva | 50ºC | 2’ 4’ 6’ 8’ 10’ | *** *** *** *** *** | ** ** ** ** ** |
Keterangan Benedict: Keterangan Iodine:
* : Biru sangat jernih * : Endapan ungu sedikit
** : Biru jernih ** : Endapan ungu banyak
*** : Biru keruh *** : Endapan ungu sangat banyak
Dari data di atas, dapat diketahui bahwa pada suhu 10ºC rata-rata terdapat larutan biru sangat jernih pada tabung yang ditetesi oleh reagen Benedict, sedangkan pada tabung yang ditetesi reagen Iodin belum terdapat endapan. Pada suhu 30ºC rata-rata terdapat larutan biru jernih pada tabung yang ditetesi oleh reagen Benedict, sedangkan pada tabung yang ditetesi reagen Iodin terdapat endapan ungu sedikit. Pada suhu 50ºC 30ºC rata-rata terdapat larutan biru keruh pada tabung yang ditetesi oleh reagen Benedict, sedangkan pada tabung yang ditetesi reagen Iodin terdapat endapan ungu banyak. Hal ini mungkin disebabkan oleh endapan ungu dapat terjadi jika larutan amilum + saliva yang ditetesi reagen Iodin berada pada suhu yang tinggi. Jadi, dapat diketahui bahwa semakin besar suhu yang diberikan, maka semakin cepat reaksi enzimatik dari amilase.
Menurut Campbel (2002), bahwa suhu merupakan salah satu faktor lingkungan penting dalam aktivitas suatu enzim. Sampai pada suatu titik, kecepatan suatu reaksi enzimatik meningkat sejalan dengan meningkatnya suhu, sebagian disebabkan karena substrat akan bertubrukan dengan tempat aktif lebih sering ketika molekul itu bergerak lebih cepat. Namun demikian, di luar suhu itu, kecepatan reaksi enzimatik akan menurun drastis. Agitasi termal pada molekul enzim itu menggangu ikatan hidrogen, ikatan ionik, dan interaksi lemah lainnya yang menstabilkan konformasi aktifnya, sehingga molekul protein itu akan mengalami denaturasi.
Menurut Villee (1988), bahwa tiap kenaikan suhu 10ºC, kecepatan reaksi akan menjadi dua kali lipat dan dalam batas suhu yang wajar, hal ini berlaku juga bagi reaksi katalisis enzim. Enzim dan protein pada umumnya dinonaktifkan oleh suhu tinggi. Molekul protein berbentuk gulungan spiral atau heliks dan proses denaturasi tampaknya menyangkut penglurusan heliks itu. Kebanyakan organisme akan mati jika dipanaskan karena enzim itu akan menjadi nonaktif.
Menurut Rahayu (2004), bahwa kenaikan suhu akan menyebabkan bertambahnya reaksi kecepatan enzim hingga tercapai suhu optimal, selanjutnya kecepatan reaksi akan menurun karena perubahan konformasi pada substrat dan enzim. Pada suhu yang lebih tinggi akan terjadi denaturasi enzim sehingga enzim akan kehilangan aktivitas. Enzim memerlukan pH lingkungan yang sesuai untuk aktivitas optimalnya. Perubahan pH lingkungan diperkirakan akan menyebabkan perubahan ionisasi enzim, substrat, atau kompleks enzim dengan substrat, sehingga aktivitas enzim akan menurun. Enzim memerlukan pH lingkungan yang sesuai untuk aktivitas optimalnya. Perubahan pH lingkungan diperkirakan akan menyebabkan perubahan ionisasi enzim.
BAB 5
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Adapun kesimpulan dari praktikum ini adalah:
a. Pengaruh empedu terhadap lemak adalah memecah gugus asam lemak pada lemak (prosesnya disebut emulsifikasi) menjadi butir-butir halus yang lebih hidrofit sehingga dapat diserap di dalam usus halus.
b. Pengaruh suhu terhadap kerja enzim amilase adalah kecepatan suatu reaksi enzimatik akan meningkat sejalan dengan meningkatnya suhu. Sedangkan pada suhu rendah reaksi enzimatik berlangsung lambat atau berhenti sama sekali.
c. Faktor-faktor yang mempengaruhi kerja enzim adalah
- Suhu : Enzim bekerja optimal pada suhu 30ºC atau pada suhu tubuh
dan akan rusak pada suhu tinggi
- pH : Enzim bekerja optimal pada pH netral dan pada kondisi asam
atau basa kerja enzim terhambat
- Inhibitor enzim : Enzim dapat dihambat oleh sejumlah zat kimia, yang beberapa
di antaranya menghambat sementara dan beberapa di antaranya
menghambat secara tetap
d. Fungsi empedu pada saluran pencernaan adalah untuk menguraikan lemak menjadi asam lemak dan gliserol, membantu dalam proses penyerapan vitamin yang terlarut di dalam lemak, membantu kerja lipase pankreatik, dan menciptakan suasana yang lebih alkalis dalam usus halus agar absorbsi berlangsung dengan lancar
5.2 Saran
Adapun saran dalam praktikum ini adalah:
a. Sebaiknya praktikan lebih teliti dalam mengukur sampel yang akan digunakan
b. Sebaiknya praktikan lebih memahami materi percobaan sehingga lebih memudahkan dalam melakukan praktikum
c. Sebaiknya praktikan lebih teliti dalam mengamati perubahan warna pada percobaan
DAFTAR PUSTAKA
Campbell, N. A. 2002. Biologi. Jilid 1. Edisi Kelima. Jakarta : Penerbit Erlangga.
Dellman,H. D. 1992. Buku Teks Histologi Veteriner II. Edisi Ketiga. Jakarta :
UI-Press.
Frandson, R. D. 1992. Anatomi dan Fisiologi Ternak. Yogyakarta : UGM Press.
Fried, G. H. 2005. Teori dan Soal-Soal Biologi. Edisi Kedua. Jakarta : Erlangga
Isnaeni, W. 2006. Fisiologi Hewan. Yogyakarta : Penerbit Kanisius.
Mambo. 2009. Biologi Hati dan Empedu. Diakses tanggal 13 Maret 2010
Rahayu, S. 2004. Karakteristik Biokimiawi Termostabil Penghidrolisis Kitin.
Diakses Tanggal 13 Maret 2010
Ville, C. A. 1988. Zoologi Umum. Jakarta :Erlangga.
Penulis: Rita Susanti
Penulis: Rita Susanti
Enzime dan Sistem Pencernaan
2011-11-21T00:49:00-08:00
Rytha Teguh Aza
Makalah Enzim dan Sistem Pencernaan|Organ-organ Pencernaan|Pengaruh Empedu Terhadap Lemak Pencernaan|
Subscribe to:
Posting Komentar (Atom)